• KETELADANAN UNTUK KITA SEMUA





    Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.

    Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan matanya yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah.

    Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. ”Kita harus lakukan sesuatu,” ujar sang suami. ”Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk Pak Tua ini.”

    Lalu, suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring dan gelas, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

    Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada air mata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.
    Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua kejadian itu setiap hari dalam diam. Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. ”Kamu sedang membuat apa?” Anaknya menjawab, ”Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saat Aku sudah besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

    Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Setelah kejadian itu Mereka makan bersama di meja makan seperti semula. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.

    Renungan

    Anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak.
    Sahabat….sesering apakah kita menangis mendo’akan anak-anak kita agar tak terjerumus di lembah maksiat yang kini telah menembus seluruh lorong ruang dan waktu ?

    Sesering apakah kita meratap memohon agar anak-anak kita memiliki benteng keimanan yang mampu menahan serangan pergaulan bebas dan narkoba yang telah merajalela ?

    Sesering apakah kita menumpahkan air mata ini untuk anak-anak kita agar kelak mereka senantiasa memohonkan ampunan untuk kita ketika kita telah terlelap di alam penantian nanti ?
    Seering apakah kita mengantar tidur malamnya dengan cerita-cerita indah penuh keteladanan ? dan keteladanan yang mana pula yang sering kita peragakan dihadapan mereka ?

    Tiga hal yang akan abadi bersama kita sampai ajal kita datang nanti :
    1. Amal Jariah ( Wakaf dan Sedekah )
    2. Anak Yang Sholeh yang selama hidupnya selalu mendo’akan kita
    3. Ilmu Yang Bermanfaat yang memberi dampak kebaikan kepada banyak orang

    Menangislah, karena tumpahnya air mata kita karena takut kepada Allah kelak.

    Renungan 2 ( ONGKOS KE AKHIRAT )

    ONGKOS KE AKHIRAT

    Saya menemui Ibu Ela di rumahnya, depan mesjid jami Al Hidayah di Darmaga Lonceng, Bogor. Menemuinya tidak butuh waktu lama, karena hampir semua orang di dekat mesjid itu kenal Ibu Ela. Rumahnya ada di dalam gang, sedikit di bibir sungai.

    Saya mengucap salam dan dijawab oleh tetangganya…
    “Mas.. cari bu Ela ya…?”
    “Iya… orangnya ada Bu…?” tanya saya..
    “Oh.. dia lagi di sungai” kata ibu tadi
    “Ngapain Bu..?” saya bertanya lagi. Mungkin sedang mencuci pakaian, pikir saya.
    “Memang kerjaannya tiap hari ke sungai, mungutin sampah-sampah plastic dari botol kemasan sabun atau shampoo… bentar lagi juga pulang.” Jawab itu tadi panjang lebar.

    Informasi yang saya terima ternyata benar adanya. Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya memang mengumpullkan sampah plastic dari kemasan. Cuma saya tidak terbayang, bahwa untuk memperolehnya, dia harus memungut di sungai.

    Tak beberapa lama, datang wanita paruh baya, kurus, rambutnya diikat ke belakang, banyak warna putihnya. Ibu Ela. Mengenakan baju bergambar salah satu calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2004 lalu.

    Saya langsung menyapa.
    “Assalamu’alaikum…”
    “Wa’alaikum salam. Ada apa ya Pak?” tanya Ibu Ela..
    “Saya dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar, boleh Bu…?” saya menjelaskan, dan mengunakan ‘Tabloid An Nuur’ sebagai ‘penyamaran’.
    “Oh.. boleh, silahkan masuk.”

    Ibu Ela, masuk lewat pintu belakang. Saya menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya nyala, dan pintu depan pun dibuka.
    “Silahkan masuk…”
    Saya masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. Berhemat katanya.

    “Sebentar ya Pak, saya ambil air minum dulu” kata Ibu Ela.
    Yang dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan diatasnya ada sebuah panic yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.

    “Iya Bu.. ngga usah repot-repot.” Kata saya ngga enak.

    Kami pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’.
    Ibu Ela ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastic dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika saya Tanya aktivitasnya selain mencari plastic,
    “Mengaji…” katanya
    “Hari apa aja Bu…?” Tanya saya

    “Hari senin, selasa, rabu, kamis, sabtu…” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani Ibu yang dirawat di rumahnya.

    Oh.. jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu, biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela.

    Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.

    Saya tanya lagi,
    “Paling jauh pengajiannya dimana Bu?”
    “Di dekat terminal Bubulak, ada mesjid taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir; ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.

    “Kesana naik mobil dong..?” tanya saya.
    “Saya jalan kaki” kata Ibu Ela
    “Kok jalan kaki…?” tanya saya penasaran.

    Penghasilan Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.

    “Iya.. mas, saya jalan kaki dari dini. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan kaki, khan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…” Ibu Ela menjelaskan.
    “Maksudnya, uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke pak Ustadz?” Saya melongo. Khan Ibu ngga punya uang, gumam saya dalam hati.
    “Iya, yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah.” Kata Ibu Ela, datar.
    “Kenapa Bu, kok dikasihin?” saya masih bengong.
    “Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat, dicatet sama Allah…. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela menjelaskan, kedengarannya jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.

    Dzig! Saya seperti ditonjok Cris John. Telak!
    Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya Merinding!

    Ibu Ela tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu.

    Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majlis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak?

    ‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat, saya akan menemui Ibu Ela kembali, mungkin minggu depan.

    Saya sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’..Saya sudah menemukan kekuatan dibalik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.

    Minggu depannya, saya datang kembali ke Ibu Ela, kali ini bersama dengan kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat. Namanya Mr. EM (Easy Money)

    Kru yang bersama saya adalah kru Uang Kaget, program di RCTI yang telah memilih Ibu Ela sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang terbaik. Saya mengetahuinya, karena dibalik kacamata hitamnya, Mr. EM seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca. Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya.

    Ibu Ela mendapatkan ganti Rp 2.000 yang disedekahkannya dengan Rp 10 juta dari uang kaget. Entah berapa yang Allah ganti di akherat kelak.

    Ibu Ela membeli beras, kulkas, makanan, dll untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan Allah untuk rumah indahnya di akherat kelak...

    Sudahkah kita menyisihkan ongkos ke akherat?

    Renungan 3

    Ayah… maaf boleh aku beli waktumu ?

    Sahabat semua…., diantara tugas-tugas terberat yang kita rasakan sebagai Ayah dan Ibu adalah bekerjasama untuk mendidik Anak SECARA LANGSUNG agar anak-anak kita menjadi anak yang sholeh dan sholihah, menampilkan keteladanan yang baik selama bersama mereka, memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk mereka, menemani belajar dan bermain mereka , serta mengantar tidur mereka dengan cerita indah penuh hikmah. Inilah kisah untuk kita renungkan bersama bagi kita yang masih berprinsip ‘ waktu adalah uang ‘.

    Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di
    Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron,
    putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia
    nampaknya sudah menunggu cukup lama akan kedatangan ayahnya pulang kerja.

    "Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang
    sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke
    kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron
    menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji
    Ayah?"

    "Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"

    "Ah, enggak. Pengen tahu aja."


    "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan
    dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja.
    Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

    Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara
    ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju
    kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

    "Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam
    ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.

    "Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi.

    Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian,
    Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"

    "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini?
    Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."

    "Tapi, Ayah..."

    Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak
    kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali
    hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu
    belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang
    uang Rp 15.000,- di tangannya.

    Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan
    Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam
    begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih
    dari itu pun ayah kasih."

    "Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah
    menabung lagi dari uang jajan selama satu minggu ini."

    "Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.

    "Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga
    puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.
    Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi
    karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam
    harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam
    dari Ayah," kata Imron polos.


    Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat, air matanya mengalir deras, menyesali segala ketidakberdayaannya.

    Sahabat KASKUSER Yang disayang Allah, betapa setiap detik kasih sayang Allah telah kita rasakan, sesungguhnya adalah kita diperintah untuk membagi kasih sayang itu kepada orang-orang yang terdekat dengan kita, kepada orang-orang yang kehilangan kasih sayang dan kepada seluruh makhluq di muka Bumi ini, sebagai wujud manifetasi tugas kita sebagai Wakil Allah di muka Bumi.

    Sahabat……, andai tugas yang membuat kita menjadi sering meninggalkan buah hati kita, maka jangan sampai lupa disetiap lelah dan dahaga kita terselip do’a untuk sang buah hati kita, terutama disetiap usai kita beribadah dalam bentuk apapun.

    Renungan 4 (5 menit bersama bidadariku)

    5 MENIT BERSAMA BIDADARIKU

    Mau nikah ? ntar dulu, siapa calonnya ? cantik gak ? gantengnya seperti siapa ? udah kerja belum ? anaknya orang kaya ya ? tinggi badannya setara gak ? bodinya gimana ? umurnya sudah tua ya ? sudah sarjana ?

    Sahabat ...... pertanyaan-pertanyaan yang sangat fisikal dan duniawi sekali ini sering menghantui para gadis dan pemuda masuk ke jenjang pernikahan yang sangat dianjurkan untuk disegerakan pelaksanaannya ketika nafsu sudah bergolak tak terkendali.

    Mereka lebih senang melampiaskan nafsunya dengan permainan-permainan yang dibuat oleh Setan yang sekilas begitu indahnya namun akan berujung kepada kehinaan dan kesengsaraan yang berlarut-larut dalam hidupnya. Dan jadilah ia Pengikut Setan yang sebenar-benarnya, na’udzubillahi min dzalik

    Jarang sekali para gadis atau pemuda atau bahkan orang tua yang mempertanyakan kepada calon pasangan, bagaimana baca Qur’annya ? Sholat 5 waktunya tepat waktu ? suka Sholat lail ? suka Puasa Sunnah ? Akhlahnya bagaimana ? Belajar Agamanya dimana ?
    Namanya Aini. begitu saya biasa memanggilnya. Salah satu "adik" terbaik yang pernah saya miliki, yang pernah saya temui dan alhamdulillah Allah pertemukan saya dengannya.

    Seharusnya 20 Nopember nanti genap ia menginjak usia 37 tahun. Beberapa tahun bersamanya, banyak contoh yang bisa saya ambil darinya. Kedewasaan sikap, keshabaran, keistiqomahan, dan pengabdian yang luar biasa dalam meretas jalan dakwah . Seorang Penggerak dakwah yang tangguh dan tak pernah menyerah. Sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah putus asa dan memiliki prasangka baik yang teramat tinggi kepada Allah. Dan dia adalah salah satu amanah saya terberat, ketika memang harusnya ia sudah memasuki sebuah jenjang pernikahan.

    Ketika beberapa gadis lain yang lebih muda usianya melenggang dengan mudahnya menuju jenjang pernikahan, maka Aini ,Allah taqdirkan harus terus meretas kesabaran. Beberapa kali saya berikhtiar membantunya menemukan pemuda shalih, tetapi ketika sudah memulai setengah perjalanan proses..Allah pun berkehendak lain. Namun begitu, tidak pernah ada protes yang keluar dari lisannya, tidak juga ada keluh kesah, atau bahkan mempertanyakan kenapa sang pemuda begitu " lemahnya " hingga tidak mampu menerjang berbagai penghalang ? Atau ketika masalah fisik, suku, serta terlebih usia yang selalu menjadi kendala utama seorang pemuda mengundurkan diri , Aini pun tidak pernah mempertanyakan atau memprotes " kenapa pemuda sekarang seperti ini ?

    Tidak ada gurat sesal, kecewa, atau sedih pada raut muka ataupun tutur katanya. Kepasrahan dan keyakinan terhadap kehendak Allah begitu indah terlukis dalam dirinya.

    Hingga, akhirnya seorang pemuda shalih yang dengan kebaikan akhlak serta ilmunya, datang dan berkenan untuk menjadikannya seorang pendamping. Tidak ada luapan euphoria kebahagiaan yang ia tampakkan selain ucapan singkat yang penuh makna "Alhamdulillah..jazakillah saya sudah membantu...mohon doa agar diridhai Allah "

    Alhamdulillah , Allah mudahkan proses ta’arauf serta khitbah mereka, tanpa ada kendala apapun seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Padahal pemuda shalih yang Allah pilihkan tersebut berusia 8 tahun lebih muda dari usianya.

    Berkomitmen pada sunnah Rasulullah untuk menyegerakan sebuah pernikahan, maka rencana akad pun direncanakan 1 bulan kemudian, bertepatan dengan selesainya adik sang pemuda menyelesaikan studi di negeri Mesir.

    Namun , Allah lah Maha Sebaik-baik Pembuat keputusan..

    2 minggu menjelang hari pernikahan, sebuah kabar duka pun datang. Usai Aini mengisi sebuah kajian , motor yang dikendarainya terserempet sebuah mobil, dan menabrak kontainer didepannya. Aini shalihah pun harus meregang nyawa di ruang ICU. 2 hari setelah peristiwa itu, Rumah sakit yang menanganinya pun menyatakan menyerah. Tidak sanggup berbuat banyak karena kondisinya yang begitu parah.

    Hanya iringan dzikir disela-sela isak tangis kami yang berada disana. Semua keluarga Aini juga sang pemuda pun sudah berkumpul. Mencoba menata hati bersama untuk pasrah dan bersiap menerima apapun ketentuanNya. Kami hanya terus berdoa agar Allah berikan yang terbaik dan terindah untuknya. Hingga sesaat, Allah mengijinkan Aini tersadar dan menggerakkan jemarinya. Ya Rabb...sebait harapan pun kembali kami rajut agar Allah berkenan memberikan kesembuhan, walau harapan itu terus menipis seiring kondisinya yang semakin melemah. Hingga kemudian sang pemuda pun mengajukan sebuah permintaan kepada keluarga Aini.

    " Ijinkan saya untuk membantunya menggenapkan setengah Agamanya ini. Jika Allah berkehendak memanggilnya, maka ia datang menghadap Allah dalam keadaan sudah melaksanakan sunnah Rasulullah..."

    Permintaan yang membuat kami semua tertegun. Yakinkah dia dengan keputusannya ?

    Dalam kedaaan demikian , akhirnya 2 keluarga besar itupun sepakat memenuhi permintaan sang pemuda.

    Sang bunda pun membisikkan rencana tersebut di telinga Aini. Dan baru kali itulah saya melihat aliran airmata mengalir dari sepasang mata jernihnya.

    Tepat pukul 16.00, dihadiri seorang penghulu,orangtua dari 2 pihak, serta beberapa sahabat dan dokter serta perawat...pernikahan yang penuh tangis duka itupun dilaksanakan. Tidak seperti pernikahan lazimnya yang diiringi tangis kebahagiaan, maka pernikahan tersebut penuh dengan rasa yang sangat sulit terlukiskan. Khidmat, sepi namun penuh isakan tangis kesedihan.

    Tepat setelah ijab kabul terucap...sang pemuda pun mencium kening Aini serta membacakan doa diatas kain perban putih yang sudah berganti warna menjadi merah penuh darah yang menutupi hampir seluruh kepala Aini. Lirih, kami pun masih mendengar Aini berucap, " Tolong Ikhlaskan saya....."

    Hanya 5 menit. Ya..hanya 5 menit setelah ijab kabul itu. Tangisanpun memecah ruangan yang tadinya senyap menahan sesak dan airmata. Akhirnya Allah menjemputnya dalam keadaan tenang dan senyum indah.

    Sang Pemuda telah menjemput seorang bidadari... sebuah karunia indah dan janji yang telah Allah berikan padanya...

    Dan sang pemuda pun melepas dengan penuh sukacita dengan iringan tetes airmata yang tidak kuasa ditahannya...

    " ..SAYA TELAH MENIKAHI SEORANG BIDADARI.. NIKMAT MANA LAGI YANG HARUS SAYA DUSTAKAN..."

    Begitulah sang pemuda shalih mengutip ayat Ar RahmanNya...

    Ya Rabb..Engkau sebaik-baik pembuat skenario kehidupan hambaMu..Maka jadikanlah kami senantiasa dapat memngambil hikmah dari setiap episode kehidupan yang Engkau berikan...

    Selamat jalan adikku sayang ...engkau memang bidadari surga yang Allah tidak berkenan seorang pemuda pun didunia ini yang bisa mendampingi kehidupanmu kecuali para pemuda shalih yang berkhidmat di jalan dakwah dengan ikhlas, tawadhu dan siap berjihad dijalanNya dan kelak menutup mata sebagai seorang syuhada...."

    Selamat jalan Aini..semoga Allah memberimu tempat terindah di surgaNya....Semoga Allah kumpulkan kita kelak didalam surgaNya...amiin)

    Renungan 5 ( cintai saya apa adanya)

    CINTAI SAYA APA ADANYA


    Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

    Dua tahun dalam masa pernikahan,saya harus sayai, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

    Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

    Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

    "Mengapa?", dia bertanya dengan terkejut. "Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan". Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

    Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, "Apa yang dapat saya lsayakan untuk merubah pikiranmu?".

    Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.

    Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?" Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok.". Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

    Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ...

    "Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

    " Sayang ketika kamu mengetik di komputer lalu program-program di PC-nya kacau dan akhirnya kau menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-jari saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya dan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

    Sayang, kamu juga selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.

    Sayang, kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk menunjukkan jalan kepadamu.

    Sayang, kamu selalu sakit dan pegal-pegal pada waktu "teman baikmu" datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.

    Cinta, ketika kamu sedang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi "aneh". Maka saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.

    Cinta, kamu terlalu sering menatap layar kaca TV dan Komutermu serta membaca buku sambil tiduran dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, maka saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

    "Tetapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku. Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, matsaya, tidak cukup bagimu. Saya tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu."

    Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

    "Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barangku, dan saya tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagia saya bila kau bahagia."

    Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

    Aku peluk dia penuh kebahagiaan, oh, kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai aku lebih dari dia mencintaiku.

    Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

    Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, padahal tanpa kita sadari Cinta itu telah terwujud dalam bentuk yang lain walau tidak sesuai dengan wujud yang kita harapkan

    Seringkali kali kita menuntut Cinta kepada pasangan kita, namun jarang terfikir oleh kita sejauhmana Cinta yang telah kita berikan padanya. Berikan Cinta Kasih yang tulus kepadanya, kalaupun dia belum membalasnya yakinlah Allah pasti akan membalas dan membisikkan CintaNYA kepadanya untuk diberikan kepada kita.

    Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

0 Coment:

Posting Komentar